Hak-Hak dalam Peraturan Pekerja Perempuan

Pada dasarnya setiap manusia dilahirkan secara bebas dan sama dalam martabat dan hak tanpa perbedaan apapun, termasuk perbedaan berdasarkan jenis kelamin.

Hal tersebut tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menerapkan dan menjamin persamaan kedudukan dan hak bagi segala warna negara, baik laki-laki maupun perempuan, sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:

  1. Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
  2. Tiap-tiap warga berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Dalam bidang ketenagakerjaan dari pasal 27 ayat 1 dan 2 UUD 1945 tersebut dijabarkan kembali dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni pada Pasal 5 dan 6 yang menyatakan:

  • Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan;
  • Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.

Pengertian di atas termasuk diperuntukkan bagi pekerja perempuan. Dengan demikian, UU No.13 tahun 2003 tidak membedakan atau mendiskriminasikan perlakuan terhadap pekerja laki-laki maupun perempuan.

Melalui melindungi hak-haknya dan mematuhi peraturan pekerja perempuan, perusahaan dapat mewujudkan kesetaraan gender, sehingga semua pekerja baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki peluang yang sama dalam mendapatkan pekerjaan, penghasilan yang adil, promosi, dan kesempatan pengembangan karier.

Selain itu, adanya perlindungan tersebut juga membantu mencegah diskriminasi berbasis gender di tempat kerja. Artinya, pekerja perempuan tidak boleh diabaikan, dijauhi, atau diperlakukan lebih buruk hanya karena jenis kelamin mereka, dan bahkan terkena tindakan mainsplaining. 

Kemudian, perlindungan hak-hak perempuan juga penting untuk menjaga kesejahteraan dan kebahagiaan pekerja perempuan, serta mencegah risiko kesehatan dan stres. Misalnya, dengan memberikan hak cuti hamil sesuai aturan yang berlaku.

Hak-Hak dalam Peraturan Pekerja Perempuan

Berikut adalah beberapa hak tenaga kerja perempuan yang harus dilindungi:

1. Hak Pelindungan Jam Kerja

Pelindungan kerja malam bagi pekerja wanita, yaitu pukul 23.00 sampai 07.00 diatur dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Pekerja perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 hingga pukul 07.00 pagi;
  2. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungan dan dirinya, yaitu apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00 pagi.

Bagi perusahaan yang mempekerjakan karyawan wanita antara pukul 23.00 hingga 07.00 pagi memiliki beberapa kewajiban, seperti:

  1. Memberikan makanan dan minuman bergizi;
  2. Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.

2. Hak Melakukan Cuti Haid

Saat pekerja perempuan diberikan kesempatan untuk beristirahat selama menstruasi, mereka cenderung lebih nyaman dan fokus saat bekerja nanti. Hal ini tentunya memberikan dampak positif pada produktivits dan kualitas kerja mereka.

Selain itu, melindungi hak cuti haid bagi wanita juga menjadi kewajiban bagi perusahaan untuk memenuhi kebutuhan individu, sehingga dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih manusiawi.

Hak cuti haid ini sendiri diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa pekerja perempuan yang sedang dalam masa haid atau menstruasi tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua, dengan tetap mendapatkan upah penuh namun wajib menginformasikan kepada manajemen perusahaan terlebih dahulu.

3. Hak Melakukan Cuti Hamil dan Melahirkan

Setiap pekerja perempuan berhak mendapatkan cuti hamil dan melahirkan, agar dapat merawat kesehatan mereka selama kehamilan dan pemulihan setelah melahirkan.

Cuti hamil dan melahirkan sendiri diatur dalam Pasal 82 UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003, yang menyebutkan bahwa pekerja perempuan memiliki hak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan anak dan 1,5 bulan setelah melahirkan.

Oleh karena itu, jika Anda ingin mengajukan cuti hamil dan melahirkan, sebaiknya informasikan kepada pihak manajemen perusahaan baik secara lisan maupun tertulis maksimal 1,5 bulan sebelum perkiraan kelahiran.

Setelah itu, Anda juga perlu memberitahukan kelahiran anak dalam waktu tujuh hari setelah kelahiran. Pekerjaan perempuan juga wajib memberikan bukti kelahiran dari rumah sakit atau akta kelahiran dalam waktu enam bulan setelah melahirkan.

Lantas, apakah seorang pekerja perempuan apat mengambil cuti yang lebih lama dari aturan yang berlaku saat ini?

Hal tersebut memang tengah didorong dan diupayakan, khususnya setelah disepakatinya Konvensi Internasional ILO No.183 tahun 2000 tentang Perlindungan Maternitas yang berfokus pada 4 perlindungan utama kehamilan:

  1. Jangkauan Perlindungan, baik bagi buruh perempuan hamil yang menikah dan tidak menikah, berstatus kerja tetap (PKWTT) maupun kontrak (PKWT).
  2. Jumlah waktu cuti melahirkan yaitu tidak dari 14 minggu (didalamnya termasuk cuti wajib 6 minggu setelah kelahiran anak, selama itu pekerja perempuan tidak diijinkan untuk bekerja). Termasuk cuti tambahan jika mengalami sakit, komplikasi atau resiko dari komplikasi tersebut yang membahayakan kehamilan, serta istirahat untuk menyusui.
  3. Adanya tunjangan finansial dan medis selama kehamilan hingga kelahiran.
  4. Jaminan tidak akan kehilangan pekerjaan bagi pekerja perempuan yang mengambil hak cuti hamil/melahirkan dan perlindungan dari tindakan diskriminasi lainnya.
Aturan Pengupahan Pekerja Perempuan yang Melakukan Cuti Hamil dan Melahirkan

Dalam Pasal 82 UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 juga telah diatur bahwa selama cuti hamil dan melahirkan, pekerja perempuan tetap mendapatkan upah penuh. Meskipun pada praktiknya, masih ada perusahaan yang tidak membayarkan upah mereka secara penuh.

Aturan Pekerja Perempuan yang Mengalami Keguguran

Pekerja perempuan yang mengalami keguguran kandungan juga berhak mendapatkan cuti melahirkan selama 1,5 bulan atau disesuaikan dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

4. Hak Perlindungan Selama Masa Kehamilan

Perusahaan juga berhak melindungi pekerja wanita selama masa kehamilan.

Hal ini diatur dalam Pasal 76 ayat 2 UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003, yang menjelaskan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan perempuan hamil yang dapat membahayakan kandungan dan dirinya sendiri.

Wanita yang sedang dalam masa hamil lebih rentan dibandingkan pekerja lainnya. Oleh karena itu, perusahaan wajib menjamin perlindungan bagi mereka, misalnya dengan tidak memberikan tugas keluar kota, atau menghindari mereka dari pekerjaan berat.

5. Hak atas Pemeriksaan Kesehatan, Kehamilan, dan Biaya Persalinan

Selain mendapatkan cuti melahirkan, setiap pekerja perempuan juga berhak mendapatkan hak atas biaya persalinan.

Hal ini tercantum dalam UU No.3 Tahun 1993 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan PP No. 13 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamimnan Sosial Tenaga Kerja.

Kedua regulasi di atas mengatur kewajiban perusahaan yang memiliki lebih dari 10 tenaga kerja atau membayar upah sedikitnya 1 juta rupiah untuk mengikutsertakan seluruh tenaga kerjanya dalam prorgam BPJS Kesehatan.

Melalui program BPJS Kesehatan, pekerja perempuan yang hamil bisa memanfaatkan fasilitasnya yang mencakup menjamin dan melindungi proses kehaliman, persalinan, pasca persalinan, penanganan pendarahan pasca keguguran, dan pelayanan KB pasca salin, serta komplikasi terkait kehamilan.

Bagi perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS Kesehatan akan mendapatkan sanksi administratif, yang diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang BPJS.

Sanksi administratif tersebut bisa berupa teguran lisan, teguran tertulis dan/ atau tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu, seperti perizinan terkait usaha, izin untuk mengikuti suatu tender, izin untuk mempekerjakan tenaga kerja asing, izin perusahaan penyedia jasa outsourcing, atau izin perusahaan mendirikan bangunan.

6. Hak Menyusui bagi Pekerja Perempuan

Peraturan pekerja perempuan selanjutnya adalah tentang hak menyusui bagi mereka yang memiliki peran krusial dalam mendukung kesejahteraan ibu dan bayi.

Hak ini diatur dalam Pasal 83 UU No. 13 tahun 2003 Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa, pekerja perempuan yang masih menyusui anaknya harus diberi kesempatan, minimal diberikan waktu untuk memerah ASI pada waktu jam kerja.

Oleh karena itu, untuk mendukung aturan tersebut, seharusnya setiap perusahaan menyediakan ruang untuk menyusui atau memerah ASI.

Hak menyusui bagi pekerja perempuan juga diatur dalam undang-undang internasional, yaitu pada Pasal 10 Konvensi ILO No.183 Tahun 2000 yang mengatur lebih detail bahwa pekerja perempuan yang menyusui berhak mendapatkan satu jam jeda atau lebih, atau pengurangan jam kerja setiap hari untuk menyusui bayi atau memerah ASI.

Menurut rekomendasi WHO, masa menyusui tersebut sekurang-kurangnya diberikan selama 2 tahun.

7. Larangan Melakukan PHK terhadap Pekerja Perempuan

Peraturan pekerja perempuan selanjutnya adalah tentang larangan melakukan PHK terhadap mereka.

Hal ini tercantum dalam  Pasal 153 ayat (1) huruf e UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 yang melarang perusahaan melakukan PHK karena alasan pekerja perempuan hamil, melahirkan, keguguran, maupun menyusui.

Larangan tersebut juga diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.03/Men/1989 yang menyatakan adanya larangan melakukan PHK terhadap pekerja perempuan dengan alasan berikut:

  • Pekerja perempuan menikah;
  • Pekerja perempuan sedang hamil;
  • Pekerja perempuan melahirkan.

Peraturan di atas merupakan bentuk perlindungan bagi pekerja perempuan sesuai kodrat, harkat, dan martabatnya.

8. Pengakuan Kompetensi Kerja

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pekerja perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam perkembangan karier.

Hal tersebut ternyata juga diatur dalam Pasal 18 UU No.13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa, seorang tenaga kerja perempuan berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah, swasta, maupun pelatihan di tempat kerja.