Untuk pajak penghasilan sendiri, di Indonesia dibagi menjadi 8 jenis:
- Pajak Penghasilan Pasal 15 yang dikenakan kepada wajib pajak yang memiliki badan usaha dan berprofesi sebagai pengusaha
- Pajak Penghasilan pasal 21 yang pajak penghasilan bagi karyawan, pegawai tetap dan penerima pensiun berkala, pekerja lepas, dewan komisaris yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap, peserta program pensiun berstatus pegawai yang menarik dana pensiun dan penerima imbalan yang sifatnya tidak teratur
- Pajak penghasilan pasal 22 adalah tarif pajak PPh yang dikenakan pada wajib pajak yang melakukan kegiatan impor barang mewah
- Pajak penghasilan pasal 23 yang dikenakan pada wajib pajak yang melakukan transaksi meliputi dividen, royakti, bunga, hadiah, sewa, jasa, dan penghasilan lain selain aset tanah atau bangunan
- Pajak penghasilan pasal 25 merupakan angsuran pajak dari jumlah pajak penghasilan terutang yang tertulis pada SPT tahunan PPh, dikurangi PPh yang dipotong, dan PPh terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
- Pajak penghasilan pasal 26 merupakan tarif pajak PPh yang dikenakan pada wajib pajak luar negeri atas penghasilan yang bersumber selain dari bentuk usaha tetap (BUT) yang berdomisili di Indonesia
- Pajak penghasilan pasal 29 adalah pajak yang dihasilkan dari nilai lebih pajak terutang setelah dikurangi kredit pajak
- Pajak penghasilan pasal 4 ayat (2) dikenakan pada pemilik bunga deposito, tabungan, obligasi atau surat utang negara, simpanan yang dibayarkan koperasi, transaksi saham atau sekuritas lain, hadiah undian serta transaksi lain yang sesuai aturan.
Apa itu PPh Progresif?
Salah satu sifat penghitungan tarif pajak penghasilan PPh pasal 21 yang diterapkan di Indonesia adalah pajak progresif.
Tarif progresif adalah tarif pajak dengan besaran persentase yang bergantung pada kuantitas serta nilai objek pajak. Sehingga, tarif progresif akan semakin meningkat jika jumlah dan nilai objek pajak mengalami kenaikan.
Pada kasus pajak penghasilan, makin tinggi penghasilan seseorang maka makin besar pula pajak yang wajib dibayarkan.
Untuk berbicara mengenai tarif sendiri, agaknya harus melihat acuan regulasinya pada Pasal 17 Ayat 1 huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015. Tarif yang tercantum dalam regulasi tersebut adalah sebagai berikut.
- Penghasilan tahunan hingga Rp. 50.000.000 dikenai tarif pajak 5%.
- Penghasilan tahunan antara Rp. 50.000.000 – Rp. 250.000.000 dikenai tarif pajak 15%.
- Penghasilan tahunan antara Rp. 250.000.000 – Rp. 500.000.000 dikenai tarif pajak 25%.
- Penghasilan tahunan di atas Rp. 500.000.000 dikenai tarif pajak 30%.
Karena pengenaan dan penghitungannya menggunakan prinsip progresif, maka ketika penghasilan kena pajak (penghasilan setelah dikurangi PTKP sesuai status).
Contohnya adalah Rp. 700.000.000, tarifnya tidak kemudian dihitung Rp. 700.000.000 x 30%, namun dihitung secara bertahap. Perhitungannya akan menjadi seperti ini:
= (Rp. 50.000.000 x 5%) + (Rp. 200.000.000 x 15%) + (Rp. 250.000.000 x 25%) + (Rp. 200.000.000 x 30%)
= Rp 2.500.000 + Rp. 30.000.000 + Rp. 62.500.000 + Rp. 60.000.000
= Rp. 155.000.000.
Tentu jumlahnya akan jauh jika dibandingkan dengan penghitungan secara langsung. Model perhitungan ini yang disebut dengan perhitungan progresif sehingga didapatkan jumlah pajak penghasilan yang nilainya sesuai dengan apa yang diamanatkan undang-undang dan tidak memberatkan wajib pajak yang harus membayarnya.
Pengenaan tarif pajak penghasilan ini juga tidak berubah sejak beberapa tahun terakhir karena dinilai sudah cukup ideal.
Semakin tinggi penghasilan per tahun yang didapatkan, maka pajak yang harus ditanggung juga semakin besar. Ini untuk memberikan keseimbangan pada golongan wajib pajak yang memiliki penghasilan tidak terlalu tinggi sehingga dapat mengusahakan peningkatan standar hidup yang dimilikinya.
Tujuan dari tarif pajak progresif ini adalah untuk mempengaruhi orang-orang atau Wajib Pajak yang memiliki penghasilan tinggi atau menengah, agar menyadari bahwa mereka disanggupkan untuk membayar pungutan kepada negara dengan jumlah yang lebih besar.
Perubahan Peraturan PPh di Tahun 2021
Pemerintah telah melakukan perubahan ketentuan perpajakan melalui Rancangan Undang-Undang Harmonisai Peraturan Pajak (RUU HPP) yang telah disetujui pada Sidang Paripurna DPR pada tanggal 7 Oktober 2021.
Terdapat banyak perubahan ketentuan pajak dan salah satunya adalah tarif pajak orang pribadi yang baru. Tarif pajak orang pribadi yang baru memperbaharui ketentuan yang sebelumnya diatur pada pasal 17 UU PPh (Undang-Undang Pajak Penghasilan). Perubahan ini berdampak pada perubahan perhitungan PPh 21 Karyawan perusahaan.
Berikut ini perubahan tarif pajak orang pribadi berdasarakan UU HPP yang memperbaharui Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh.
UU PPh | UU HPP | ||
Lapisan Penghasilan Kena Pajak | Tarif | Lapisan Penghasilan Kena Pajak | Tarif |
0 sampai dengan Rp.50.000.000,- | 5% | 0 sampai dengan Rp.60.000.000,- | 5% |
Di atas Rp.50.000.000,- sampai dengan Rp.250.000.000,- | 15% | Di atas Rp.60.000.000,- sampai dengan Rp.250.000.000,- | 15% |
Di atas Rp.250.000.000,- sampai dengan Rp.500.000.000,- | 25% | Di atas Rp.250.000.000,- sampai dengan Rp.500.000.000,- | 25% |
Di atas Rp.500.000.000,- | 30% | Di atas Rp.500.000.000,- sampai dengan Rp.5.000.0000.000,- | 30% |
Diatas Rp.5.000.000.000,- | 35% |
Pada Tabel diatas dapat dilihat bahwa terdapat ada perubahan ketentuan. Pertama, tariff PPh 21 UU HPP terdapat 5 lapisan dimana sebelumnya pada UU PPh hanya terdapat 4 lapisan.
Pemerintah menambahkan lapisan ke-5 dengan tarif 35% dengan Penghasilan Kena Pajak dalam setahun diatas 5 Milyar Rupiah. Kedua, pada lapisan pertama atau ke-1 pemerintah memperbesar Penghasilan Kena Pajak dalam setahun dari 0 sampai dengan Rp.50 Juta Rupiah menjadi dari 0 sampai dengan Rp.60 Juta Rupiah.
Akibat dari perubahan kedua, apabila sebelum UU HPP seorang karyawan dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp.60 Jt setahun dikenakan 2 lapis tarif pajak yakni 5% dan 15%.
Maka setelah UU HPP ini seorang karyawan dengan Penghasilan Kena Pajak sebesari Rp.60 Juta setahun hanya akan dikenakan 1 lapis Tarif pajak yakni 5%. Sehingga pajak yang harus dibayarkan menjadi lebih rendah.
Berikut ini contoh perhitungan karyawan PPh 21 Karyawan berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Huruf a UU PPh dan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Pajak
Pak Andi seorang karyawan pada PT.ABCmenerima gaji dan tunjangan sebesar Rp.11.000.000,- setiap bulan dari perusahaan dengan status belum menikah dan tanpa tanggungan. Serta memiliki NPWP.
Perhitungan PPh 21 berdasarkan UU PPh :
Penghasilan Bruto Setahun | Rp.11.000.000 x 12 Bulan | Rp.132.000.000,- |
Dikurangi :Biaya Jabatan | Rp.132.000.000 x 5% | (Rp.6.000.000,-)
Note : Biaya jabatan dalam setahun maks. 6jt |
Penghasilan Neto Setahun | Rp.126.000.000,- | |
Penghasilan Tidak Kena Pajak (TK/0) | (Rp.54.000.000,-) | |
Penghasilan Kena Pajak | Rp.72.000.000,- | |
PPh 21 :Tarif Lapis Pertama
Tarif Lapis Kedua |
5% x Rp.50.000.000,-
15% x Rp.22.000.000,- |
Rp. 2.500.000,-
Rp. 3.300.000,- |
PPh 21 terutang Setahun | Rp.2.500.000 + Rp.3.300.000 | Rp. 5.800.000,- |
PPh 21 dipotong sebulan | Rp.5.800.000 / 12 | Rp. 483.333,- |
Perhitungan PPh 21 UU HPP :
Penghasilan Bruto Setahun | Rp.11.000.000 x 12 Bulan | Rp.132.000.000,- |
Dikurangi :Biaya Jabatan | Rp.132.000.000 x 5% | (Rp.6.000.000,-)
Note : Biaya jabatan dalam setahun maks. 6jt |
Penghasilan Neto Setahun | Rp.126.000.000,- | |
Penghasilan Tidak Kena Pajak (TK/0) | (Rp.54.000.000,-) | |
Penghasilan Kena Pajak | Rp.72.000.000,- | |
PPh 21 :Tarif Lapis Pertama
Tarif Lapis Kedua |
5% x Rp.60.000.000,-
15% x Rp.12.000.000,- |
Rp. 3.000.000,-
Rp. 1.800.000,- |
PPh 21 terutang Setahun | Rp.3.000.000 + Rp.1.800.000 | Rp. 4.800.000,- |
PPh 21 dipotong sebulan | Rp.4.800.000 / 12 | Rp. 400.000,- |
Pada dua perhitungan pajak di atas dapat disimpulkan bahwa pajak terutang setahun Pak Andi lebih kecil apabila menggunakan tarif pajak PPh 21 UU HPP dibandingkan dengan tarif pajak UU PPh.