Ini Cara Gunakan Skema Profit atau Bagi Hasil

Pemberian gaji itu lazimnya melalui transaksi upah atau jual beli jasa. Upah harus diketahui di awal, baik diberikan di awal kerja, di tengah, maupun di akhir. Upah harus diketahui dan disepakati nominalnya.

Namun, jika ingin menggunakan skema profit atau bagi hasil, transaksinya bukan lagi jual beli jasa, melainkan bagi hasil. Kesimpulan ini bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut ini. Pertama, dari aspek akad, hubungan hukum antara perusahaan dan karyawan adalah akad ijarah. Para karyawan menjual jasa dan kontribusi mereka untuk perusahaan.

Sebagai imbalan, perusahaan memberikan fee dan hak lainnya kepada pegawai atau karyawan. Pemilik perusahaan membeli jasa karyawan sehingga atas jasanya mereka mendapatkan fee atau upah.

Kedua, berdasarkan ketentuan akad tersebut, upah ini harus diketahui di awal, baik diberikan di awal kerja, di tengah, maupun di akhir. Namun, ia harus diketahui dan disepakati nominalnya.

Prinsip ini biasanya yang lazim dilakukan di perusahaan-perusahaan. Setiap karyawan mendapatkan gaji dengan nominal pasti. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW, “Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.” (HR ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah).

Akad sewa atau jual jasa ini diperkenankan dalam Islam. Bahkan di dalam Islam, salah satu adab yang harus dipenuhi adalah bersegera memberikan upah karyawan. Sebagaimana hadits dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda, “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR Ibn Majah).

Hal ini merujuk pada kaidah-kaidah umum, seperti fatwa DSN MUI Nomor 112/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Ijarah dan Standar Syariah AAOIFI Nomor 9 tentang Ijarah dan IMBT.

Ketiga, dalam akad ijarah, seluruh pihak yang bertransaksi harus terbuka dan bersepakat. Sehingga, tidak ada informasi sepihak yang ditutup-tutupi karena itu bagian dari gharar dan risy (informasi yang tidak disampaikan yang merugikan orang lain). Hal ini yang dilarang sesuai dengan hadis Rasulullah, “Rasulullah SAW melarang jual beli yang mengandung gharar.” (HR Muslim).

Oleh karena itu, sebaiknya pihak yang membeli jasa memenuhi hak para pegawai sesuai dengan kesepakatan yang berlaku. Begitu pula pihak yang menjual jasa bekerja profesional dan ihsan, berharap dengan tugas dan imbalan ini menjadi bagian beribadah kepada Allah SWT.

Seperti halnya transaksi antara seseorang dengan supir pribadi atau khadimah-nya, maka gaji yang menjadi haknya itu harus ditentukan nominalnya sejak diterima sebagai supir pribadi atau khadimah. Hal yang sama terjadi antara yayasan dengan para pegawai dan guru.

Begitu pula antara perusahaan dengan para karyawannya. Hal itu merupakan bagian dari adab-adab pihak yang mendapatkan jasa untuk memberikan hak mereka sesuai kesepakatan atau bahkan lebih baik lagi dibayarkan sebelum waktunya.

Keempat, jika hak pegawai fluktuatif berdasarkan realisasi pendapatan, mereka bukan lagi penjual jasa dan perusahaan bukan lagi pembeli jasa, melainkan mereka bisa ditempatkan sebagai pengelola. Artinya, yang memberi upah adalah pemilik modal, sedangkan mereka adalah pengelola.

Andaikan karyawan adalah pengelola, mereka mendapatkan keuntungan sesuai dengan realisasi pendapatan sehingga kontrak atau transaksi yang mengatur kedua belah pihak adalah kontrak bagi hasil atau mudharabah.

Karakteristik bagi hasil (mudharabah) itu sama-sama untung, sama-sama rugi sesuai dengan hadis Rasulullah SAW, “Manfaat (didapatkan oleh seseorang) disebabkan ia menanggung risiko.” (HR Tirmidzi). Dan sesuai dengan kaidah fikih; “Untung muncul bersama risiko.”

Sebagaimana merujuk pada ketentuan umum terkait mudharabah, di antaranya Fatwa DSN MUI Nomor 115/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Mudharabah dan Standar Syariah AAOIFI Nomor 13 tentang Mudharabah.

Konsekuensi kesepakatannya adalah keuntungan berbentuk persentase dan kerugian ditanggung oleh pemilik modal, kecuali kalau rugi terjadi akibat wanprestasi yang dilakukan oleh pengelola